Ibu Mungil Nan Tangguh

Siapa Dia?

Ibu kandung memang tak akan tergantikan selamanya; tak ada yang bisa mengingkari kenyataan itu. Jasa dan pengorbanan sepanjang hayat demi keluarga tak akan pernah bisa terbayar sampai kapanpun, dengan apapun. Bagi saya ibu yang melahirkan saya adalah segalanya.

Namun ada satu ibu yang ikatan batinnya dengan saya begitu kuat. Ibu yang meski tak ada hubungan darah, namun rasanya bagaikan ibu kedua bagi saya. Ibu berperangai lembut, bertutur kata halus. Asalnya dari Sumenep, di utara pulau Madura. Namanya Sofiana. Namun saya selalu memanggilnya dengan Bu Imam. Almarhum suaminya adalah drg. Imam Oetojo, dulunya dokter gigi senior di Universitas Airlangga, Surabaya.

Di kota pahlawan itulah saya pertama kali mengenal Bu Imam, secara tidak sengaja (meski saya yakin Allahlah yang telah bersengaja mempertemukan saya dengan beliau). Ceritanya saya lulus UMPTN dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Airlangga 19 tahun yang lalu. Karena ketika itu saya berdomisili di Bandung, maka dengan diantar ibu saya berburu tempat kost di sekitar kampus. Singkat kisah seorang satpam kampus menginformasikan dan mengantar kami ke kediaman Bu Imam. Kami langsung jatuh cinta ketika tahu bahwa bakal rumah kost itu jaraknya tak sampai 30 detik jalan kaki, bisa kurang dari itu kalau sambil berlari.

Ibu pun mantap meninggalkan saya di sana, sembari menitipkan anak sulungnya ini kepada keluarga Bu Imam yang juga tinggal serumah. Baru sehari di sana, saya sudah merasakan kehangatan keluarga Madura itu. Dari mereka saya mengenal dan akrab dengan bahasa Madura, yang di kemudian hari terbukti sangat membantu ketika Allah menakdirkan saya berjodoh dengan orang Madura (tak ada perjodohan di sini, memang sudah nasib saya).

Dari Bu Imam saya juga mengenal berbagai kuliner Sumenep seperti bubur tajin sebagai hidangan berbuka puasa Ramadhan, soto kokot singkong yang biasanya hanya ada di Madura, tumis lorjuk, dan berbagai kuliner khas Madura lainnya.

Bu Imam yang penyabar ini posturnya sangat mungil, tapi aktivitasnya bukan main. Sejak suaminya meninggal, ia terbiasa menyetir sendiri. Kendaraan yang setia menemaninya adalah Toyota Kijang merah keluaran tahun 1980-an. Bayangkan wanita mungil itu menyetir mobil besar dengan kopling manual yang berat. Betul-betul ibu tangguh.

Meski ia bukan dokter gigi, namun pengetahuannya tentang urusan pergigian tak kalah dengan sarjana atau praktisi gigi. Ghirah dakwahnya juga mengagumkan. Selain pengajian keluarga dan pengajian kampung, Bu Imam juga biasa mengisi pengajian di Lembaga Pemasyarakatan khusus wanita di Medaeng, Sidoarjo. Ia sering berbagi cerita tentang obrolannya dengan para wanita narapidana kelas berat bahkan terpidana mati. Saya yakin berbagai tausiyah yang ia sampaikan di LP Medaeng itu banyak yang mengambil hikmahnya.

Ibu kost ini juga sangat rajin berpuasa sunnah dan beribadah salat malam. Tak salah memang kalau orangtua saya mempercayakan saya pada beliau. Ibu dan nenek yang aktif dan mandiri, namun kemudian didera cobaan stroke sehingga bukan saja ia harus istirahat total, namun sebagian tubuhnya menjadi lumpuh, dan memorinya ada yang hilang. Salah satu momen yang saya ingat betul adalah suatu siang ketika saya baru pulang kuliah. Saya berwudhu, siap-siap untuk salat dhuhur. Melihat hal itu, Bu Imam meminta saya untuk salat berjamaah dengannya.

“Kamu aja yang jadi imam ya, Icha. Saya kok bisa lupa bacaan salat. Tolong kamu keraskan semua bacaannya, ya.”

Maa syaa Allah. Terharu sekaligus sedih saya mendengar ucapannya. Tapi saya tetap salut dengan semangat Bu Imam untuk menegakkan salat, meski ia hanya bisa melakukannya sambil duduk. Saat itu usianya 60 tahun.

***

Masa-masa Setelah Lulus

Hampir empat tahun saya tinggal di rumah yang kami juluki DDS 30 (Dharmawangsa Dalam Selatan 30) itu. Saya berhasil jadi sarjana, dan kembali ke Bandung. Tapi itu tak lama. Orangtua berkenan mengirim saya melanjutkan studi pascasarjana ke Inggris. Maka takdir pun memperjalankan saya kembali ke Surabaya demi mengurus persyaratan administrasi di kampus dan juga koordinasi dengan British Council. Karena sudah bukan anak kost lagi, saya pun berniat tinggal sementara di rumah saudara atau teman. Namun Bu Imam dengan sukacita menawarkan untuk tinggal di rumahnya, gratis! Lalu di mana saya tidur, sementara saat itu kamar kost penuh semua? Maka mengungsilah saya di kamar paling luks di rumah itu. Saya tinggal sekamar dengan Bu Imam. Di kamarnya yang luas dan ber-AC itu memang ada dua tempat tidur. Satu tempat tidur ekstra untuk keluarga yang menjaga Bu Imam bila terjadi apa-apa dengannya. Tapi alhamdulillah, sejak serangan stroke itu, kondisi Bu Imam berangsur pulih dan stabil. Beliau bisa kembali aktif ke pengajian dan arisan, meski tak lagi bisa menyetir sendiri. Untuk urusan ini ia dibantu anak sulung atau menantunya.

Kenyamanan rumah DDS 30 harus saya tinggalkan. Saya memulai lembaran hidup baru di Liverpool. Perpisahan yang cukup membuat sedih, tapi kami tahu bahwa kami akan berjumpa lagi. Demikianlah. Enam bulan kemudian saya menikah. Pernikahan kami diadakan di Surabaya. Tentu saja Bu Imam dan keluarganya menjadi tamu spesial di acara spesial itu. Mulai dari lamaran, akad, hingga resepsi, Bu Imam selalu menyertai orangtua saya. Di acara resepsi, Bu Imam dan keluarga ditempatkan pada kalangan keluarga, yang biasanya hidangannya juga lebih lezat dan istimewa.

***

Koma

Saya harus mempercepat cerita ini meski sebetulnya masih banyak kenangan yang tercecer tentang saya dan Bu Imam.

18 tahun berlalu. Silaturrahim saya dengan Bu Imam sekeluarga tetap terjaga. Bahkan silaturrahim itu berlanjut hingga ke suami dan anak saya, juga ke cucu-cucu Bu Imam yang terus bertambah. Tiap mudik ke tanah air, saya dan keluarga selalu menyempatkan diri menyambangi rumah kost kesayangan dan ibu kost kesayangan. Alhamdulillah Bu Imam selalu sehat, meski akhir-akhir ini beliau tampak kurus dan sedih setelah kepergian anak keduanya, lelaki satu-satunya, menghadap Sang Pencipta pada usia yang relatif muda.

Di tengah kesedihannya beliau selalu berusaha tampak ceria dan berseri-seri menerima kedatangan saya dan keluarga, yang terkadang juga ditemani ibu, dan salah satu sahabat kost saya. Demikian seterusnya.

Hingga pada pertengahan Ramadhan 2014, saya mendapat kabar dari sahabat kost saya, bahwa Bu Imam terkena stroke lagi. Kali ini hingga koma selama 2 bulan di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Sedih saya menerima kabar itu. Mungkin memang usia beliau yang memang sudah sepuh, ditambah kesenduan berkepanjangan ditinggal anak kesayangannya, sehingga keadaan fisiknya menurun drastis.

Saya berjanji untuk menjenguk Bu Imam pada saat mudik yang memang sebentar lagi. Namun niat itu seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Di Surabaya ada saja kesibukan saya. Tapi kemudian saya janjikan kepada Mbak Wieke, anak sulung Bu Imam, bahwa saya akan menjenguk beliau di ICU dalam dua atau tiga hari ke depan.

Sehari kemudian, dalam perjalanan kembali dari Malang, ponsel saya berbunyi. Terdengar suara Mbak Wieke di seberang sana.

“Icha, Ibu sedho (meninggal). Mohon maafin semua kesalahan ibu, ya, Cha. Aku nggak tau kenapa koq aku spontan nelpon kamu. Wis, yo, Cha.”

Telepon ditutup. Saya termangu dalam gelap. Kesedihan berbalut penyesalan. Saya yang seharusnya mohon maaf pada beliau karena janji untuk menjenguk tak juga saya segerakan. Tahun ini berlalu tanpa saya sempat menemuinya. Tanpa sempat mencium pipi tirus dan tangannya yang mungil.

Ibu penyabar dan rendah hati itu telah beristirahat dalam keabadian. Semoga di sana beliau dipertemukan dengan suami dan anak lelaki kesayangannya. Semoga Allah mengampuni segala dosanya, dan menempatkannya di jannah-Nya yang indah, aamiin…

Saya tak bisa berjanji apa-apa lagi. Tapi satu yang pasti, saya akan tetap menjalin silaturrahim dengan anak-anak dan cucu-cucu beliau yang sudah saya anggap sebagai bagian dari keluarga sendiri.

Selamat jalan, Bu Imam. Saya akan selalu mengenangmu sebagai ibu mungil nan tangguh.

Pertemuan terakhir saya dengan Bu Imam (berkerudung cokelat, nomor dua dari kanan) di rumahnya pada tahun 2013.

Pertemuan terakhir saya dengan Bu Imam (berkerudung cokelat, nomor dua dari kanan) di rumahnya pada tahun 2013.

 

(Tulisan ini dibuat untuk meramaikan GA Sejuta Kisah Ibu, meski tak diikutsertakan dalam proses penilaian. Alasannya adalah karena saya adalah salah satu dari dewan juri ajang GA ini.)

3 thoughts on “Ibu Mungil Nan Tangguh

Leave a comment